Sukarni Ilyas, Presiden Indonesia Lawyers Club (ILC), menggelar diskusi Jurnalisme Hukum di kampus Universitas Internasional Batam (UIB) 28 Oktober 2013 lalu. Saya yang juga kagum akan sosoknya, tentu saja tidak melewatkan kesempatan itu.
Kehadiran pria kelahiran 1952 ini benar-benar menyedot perhatian mahasiswa. Ribuan orang tumpah ruah. Karni pun membuka kata pengantar sebelum dimulai diskusi, dengan kata "pemirsa".
Kata-kata yang biasa ia lontarkan di acara ILC di TvOne membuat geer para peserta diskusi kampus tentang Jurnalisme Hukum bersama Karni Ilyas itu. Kata Karni, arti tunjuknya itu sangat dalam.
"Dari program acara itu bisa masuk uang ke TvOne Rp 2 miliar," ujar mantan Pemimpin Redaksi SCTV yang biasa disapa Karni, saat memberikan pencerahan kala itu.
Tanpa basa-basi, Karni langsung menyinggung kondisi bangsa saat ini. Setiap hari disuguhi berita-berita kasus korupsi. "Negeri ini korupsinya sudah stadium tiga. Kalau orang sakit kanker, harus diamputasi," kata dia.
Sambil berdiri di antara peserta, Karni berujar, masyarakat sering heboh dengan kasus-kasus korupsi yang ada. "Mungkin karena kita tidak kebagian," kata dia berseloroh. Tawa pun pecah.
Karni merasa prihatin dengan kondisi dunia hukum dan perpolitikan. Banyak pejabat yang terjerat kasus-kasus korupsi. Menjadi bupati, gubernur dan pejabat daerah, biaya politik tinggi. Ada yang mengeluarkan uang Rp 500 miliar untuk jadi bupati.
"Jadi asumsinya setiap tahun harus ngumpulin Rp 100 miliar," kata dia. Kalau kita benar-benar periksa semua gubernur dan bupati, kata dia, "Semua bisa masuk penjara".
Karni 40 tahun jadi wartawan hingga kini. Ketika menjadi wartawan Tempo, ia pernah liputan investigasi soal kasus korupsi di Pertamina di tahun 1992. Kala itu Direktur Pertamina, Haji Tahir, diduga terlibat korupsi.
Korupsinya ketahuan setelah ia meninggal. Di Bank Sumitomo Singapura, uangnya tersimpan sebanyak 50 juta dolar US. "Itu dulu besar, sekarang lebih besar lagi," kata dia.
Uang itu ternyata atas nama Haji Tahir dan istri mudanya Kartika Tahir. Karni pun mencari keberadaan Kartika hingga ke sejumlah negara. Kartika akhirnya ditemui di Genewa, Swiss. Ia punya rumah mewah hampir di seluruh negara. Rata-rata di Eropa. "Itu baru istri kedua," kata dia.
Karni juga mencari informasi keberadaan istri pertama Haji Tahir. Di Menteng. Rumahnya nomor 12 sampai 21. "Saya sampai bingung mau masuk ke pintu mana," kata dia. Anaknya punya villa di Spanyol dan sejumlah negara eropa.
Pelayannya dari Indonesia. Tapi sekali setahun pun mereka tak menginap di situ. "Pernah anaknya ketika itu di London, jasnya tertinggal di Singapura. Pesawat Pertamina disuruh ngambil cuma buat ngambil jas," kata Karni.
Jadi orang dulu lebih hebat daripada orang sekarang. Anak Haji Tahir itu logam sepatu koboinya emas. "Kalau copot dia biarkan saja kali," kata dia.
"Haji Tahir itu baru direktur Pertamina. Belum tahu kepalanya. Itu zaman Orde Baru. Sekarang bagaimana Orde Reformasi. Saya takut investigasi, nanti ketemunya itu begitu semua he he he," ujar dia.
Sekarang kekuasaan itu tersebar di mana-mana karena otonomi daerah. Dahulu bumi dirampok, dua tiga lokasi, sekarang ke gunung pun dirampok orang.
Masif. Dewannya kebagian, kapolresnya kebagian, semuanya kebagian.
Seperti kasus Hartati Murdaya, pengusaha kakap. Sogok bupati Rp 1 miliar untuk membuka kebun sawit.
"Saya bilang KPK, sekarang mana ada sih, pengusaha buka usaha sebanyak itu nggak nyumbang?" kata Karni.
Dahulu Kalimantan tak sejengkalpun hutan ditebang. Susah mencari lapangan helikopter. Sekarang sudah ditebangi. "Helikopter bisa parkir di mana saja," kata dia.
Saya berharap generasi mudalah yang peduli akan pemerintah saat ini. Di tangan anak-anak mudalah masa depan bangsa ini. Saya khawatir justru yang ada semakin turun.
Saat ini hukum kian tak jelas. Pasal-pasal dahulu lebih jelas. Sekarang kenapa penekanan lebih ke suap-menyuap, kenapa tidak soal kerugian negara.
Diskusi semakin hangat. Antusias peserta cukup tinggi. Terbukti ada dua lantai aula yang dibuka. Jumlah peserta mencapai seribuan. "Saya kaget juga melihat antusias dari peserta," ujar Karni.
Banyak pertanyaan kenapa koruptor tidak dihukum mati agar jera. Banyak yang dihukum ringan. Karni tampak tak sepakat. Karni menilai banyak negara yang mengampanyekan untuk menghapus hukuman mati.
Alasan Karni, banyak tersangka korupsi bukan semata-mata karena niat korupsi, bisa jadi korban politik atau terjebak sistem. Bisa jadi ia hanya orang yang lagi apes.
"Seperti Hartati. Dia menyuap Rp 1 miliar barangkali ada yang lebih besar tapi tak tertangkap. Jadi hakim pasti punya pertimbangan yang matang," kata pria kelahiran Bukittinggi, Sumatera Barat.
Anjing Penggonggong
Menurut Karni peran media dalam mengawal hukum atau korupsi adalah sebagai anjing penggonggong atau pengawas. Bukan penyerang atau pemburu.
Begitu Karni menjelaskan kepada para peserta diskusi yang berharap banyak pada peran serta media dalam memberantas korupsi.
Kata Karni, "Dia akan menggonggong bila curiga. Sedikit saja ada yang mencurigakan bisa langsung digonggongi. Tidak peduli itu apakah benar maling atau tidak."
Tapi jurnalis bukan eksekutif, yudikatif ataupun legislatif. "Bahkan seorang ustazd atau pendeta tak bisa juga berbuat apa-apa ketika umatnya korupsi. Begitu juga halnya jurnalis," kata dia.
Tapi Karni mengatakan penegak hukum harus pro aktif. Harus kembali. "Semua segmen harus berani menyuarakan agar tidak korupsi atau menyuap," kata dia.
"Pernah terima suap Pak?" ujar seorang mahasiswa. "Saya tak mau menjudge diri sendiri. Tapi selama 15 tahun pernah di majalah Tempo, saya ikut merumuskan kode etik wartawan Tempo," jawabnya.
"Di TvOne, saya juga melarang wartawan menerima suap, bahkan ada empat orang yang jadi caleg saya minta berhenti, termasuk di antaranya anak saya sendiri. Tapi direksi meminta cuti di luar tanggungan," kata dia.
Diskusi jurnalisme berlangsung hangat. Kian malam, kian banyak pertanyaan. Semangat peserta juga kian tinggi.
Beberapa di antara berebut pengeras suara. Banyak pertanyaan menyangkut soal korupsi, meski sesungguhnya diskusi yang digelar adalah soal jurnalisme hukum.
Dalam segmen terakhir, pria perokok berat ini menekankan bagaimana mengefektifkan kepolisian dan kejaksaan. "Dan pengadilan sebagai benteng terakhirnya," kata dia.
Ada juga usulan penerapan hukum syariah. Justru pada saat negara menetapkan dasar awalnya, justru ada sembilan poin soal hukum Islam yang disertakan, namun justru dicoret para tokoh agama muslim. (Muhammad Zuhri, Ketua Aliansi Jurnalis Independen/AJI, Kota Batam)
Anda sedang membaca artikel tentang
Karni Ilyas, Wartawan, dan Anjing Penggonggong
Dengan url
http://sriwijayaposting.blogspot.com/2013/12/karni-ilyas-wartawan-dan-anjing.html
Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya
Karni Ilyas, Wartawan, dan Anjing Penggonggong
namun jangan lupa untuk meletakkan link
Karni Ilyas, Wartawan, dan Anjing Penggonggong
sebagai sumbernya
0 komentar:
Posting Komentar