Tribun Batam - Rabu, 17 April 2013 12:04 WIB
Ada dua bom yang meledak di sekitar garis finis sehingga sejumlah pelari dan penonton menjadi korban. Meskipun bom tersebut termasuk kategori bom rakitan, tetapi peristiwa itu langsung membuat heboh.
Tentu saja teror bom tersebut akan berdampak besar. Ingatan warga AS yang pernah sangat trauma oleh serangan 11 September 2001 yang menewaskan 3.000 orang itu. Kejahatan terkelam dalam sejarah AS ini membuat negara itu habis-habisan memburu para pelaku dan jaringan teroris di seluruh dunia, termasuk "menguasai" Afghanistan dan Pakistan.
Hingga saat ini memang belum diketahui pelaku dan motif ledakan bom tersebut. Namun, suasana mencekam sudah mulai terasa. Kepolisian Boston, misalnya, mendesak warga kota untuk tetap di dalam rumah dan tidak berkumpul dalam kelompok besar.
Kantor walikota setempat juga membuka saluran darurat dan otoritas penerbangan memberlakukan kawasan larangan terbang di daerah tersebut. Rasa khawatir juga mulai merambat ke daerah lain dengan memperketat keamanan di sejumlah lokasi penting di Washington DC dan New York.
Tentu saja ini baru permulaan. Hari-hari berikutnya, kita akan kembali menyaksikan berbagai pemeriksaan yang ketat terhadap kelompok etnis dan agama tertentu. Kita juga akan menyaksikan perlakuan diskriminasi hingga penekanan terhadap negara lain terhadap organisasi dan kelompok tertentu dari pemerintahan AS. Seolah-olah, terorisme itu adalah sebuah berbanding lurus dan identik dengan kelompok agama, negara dan etnis.
Padahal, aksi teror di negara itu tidak selamanya identik dengan kelompok agama atau etnis tertentu. Lihat saja peristiwa 17 Januari 2011 lalu, seorang radikalis kulit putih bernama Kevin Harpham berencana meledakkan rute parade Martin Luther King Day di Spokane, Washington. Namun, bom ransel itu berhasil dijinakkan dan Kevin divonis 32 tahun penjara.
Kasus lain adalah 22 Januari 1998. Theodore Kaczynski ditangkap di Sacramento, California karena telah menewaskan 3 orang dan melukai 23 orang dalam rangkaian pengeboman antara tahun 1978 dan 1995. Pada 20 Januari 1998, sebuah bom juga meledak di klinik aborsi Birmingham, Alabama, menewaskan seorang penjaga dan melukai seorang perawat. Pelakunya bernama Eric Roberts Rudolph.
Phobia memang bisa berubah menjadi teror baru yang membuat banyak orang tak nyaman. Hal ini dilakukan sebagai cara untuk menutupi kelemahan kepolisian AS sendiri. Merekalah yang lengah dan berhenti untuk menelusuri jaringan teroris serta gagal menjaga keamanan negara tersebut. Padahal, lomba marathon yang terjadi di Boston kemarin adalah keramaian besar yang sejatinya harus mendapatkan perhatian keamanan yang lebih.
Atau, bisa jadi pelaku bom kemarin hanyalah kelompok amatiran yang tidfak masuk dalam daftar perhatian intelijen AS. Hal itu bisa dilihat dari bom rakitan yang mereka gunakan, sebenarnya hanyalah berdaya ledak rendah.
Terlepas dari itu, tentu saja kita mengutuk serangan yang dilakukan terhadap warga sipil itu. Apalagi, dari tiga korban tewas, satu orang adalah bocah berumur 8 tahun yang tidak berdosa. Ia saat itu menunggu ayahnya yang ikut lomba di garis finis. (*)
Anda sedang membaca artikel tentang
Teror Bom Kembali Melanda Negeri Paman Sam
Dengan url
http://sriwijayaposting.blogspot.com/2013/04/teror-bom-kembali-melanda-negeri-paman.html
Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya
Teror Bom Kembali Melanda Negeri Paman Sam
namun jangan lupa untuk meletakkan link
Teror Bom Kembali Melanda Negeri Paman Sam
sebagai sumbernya
0 komentar:
Posting Komentar