PALEMBANG, TRIBUN - Pememerintah Kota (Pemkot) Palembang, Provinsi Sumatera Selatan, melalui Dinas Perhubungan (Dishub), tahun ini menargetkan retribusi parkir untuk Pendapatan Asli Daerah (PAD) sama seperti tahun lalu, yakni Rp6,2 miliar.
Target sengaja tidak ditingkatkan, mengingat tidak mudah untuk mencapainya. Tahun lalu saja, tidak lebih dari Rp5,2 miliar retribusi yang diterima. Padahal, jumlah area parkir dalam kewenangan Dishub Kota Palembang lebih dari 536 titik.
Pendapatan yang diterima Dishub itu, tentu saja mengacu pada tarif sesuai Perda Kota Palembang, yakni Rp1.000,00 untuk tarif motor dan Rp2.000,00 untuk mobil.
Sementara, tidak sedikit ditemui jukir yang menagih uang parkir dua kali lipat, seperti Rp2.000,00 untuk motor. Pertanyaannya, jika Rp1.000,00 per kendaraan saja bisa meraup Rp5,2 miliar, lantas ke mana kalkulasi separonya?
Tak heran jika muncul spekulasi di kalangan masyarakat yang meyakini bahwa jukir sebenarnya tidak hanya menyetor kepada Dishub, tapi juga kepada preman yang kerap disebut penguasa lahan.
Hitungan sederhananya, para jukir menyetor kepada Dishub Palembang sesuai Perda, Rp1.000,00 untuk parkir motor dan Rp1.000,00 lagi untuk preman. Kelebihan dari target yang ditentukan Dishub dan pemilik lahan baru masuk ke kantong jukir sendiri.
Itu artinya, setidaknya ratusan juta rupiah uang parkir yang dikeluarkan masyarakat masuk ke kantong para "penguasa" lahan.
Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Dishub Kota Palembang, Robert Hutapea mengatakan, belum terdatanya titik dan juru parkir (jukir) menjadi salah satu penyebab sulitnya meningkatkan targetpendapatan.
Belum lagi jumlah titik parkir yang terus bertambah dan hingga saat ini belum terdata. Menurut dia, belakangan semakin banyak jukir ilegal yang menagih uang parkir tanpa dilengkapi surat izin. Ketika dibina untuk menjadi jukir resmi, mereka kerap kucing-kucingan dan tidak rutin menyetor kepada petugas.
"Kita kelabakan kalau mau nagih jukir resmi, apalagi yang ilegal. Dia bekerja pagi hingga siang, ketika ditagih sore hari sudah menghilang. Ketika berhasil ditemui pun, kondisinya kadang dalam keadaan mabuk dan menolak membayar," kata Hutapea, Sabtu (1/2/2014) lalu.
Hutapea mengatakan, para jukir ilegal umumnya beroperasi di tempat atau titik parkir pemilik lapak. Dia pun tak sungkan menyebut tipe jukir ini telah melakukan pemalakan.
"Yang begitu bisa disebut pemalakan. Yang tidak resmi ini sulit ditinjau karena kemampuan kita yang terbatas," jelasnya. Hutapea mengaku masih berupaya melakukan pendekatan persuasif kepada "pemilik lapak" parkir. Sebab, meski dikejar target pihaknya tetap berusaha menjaga kondisi tetap kondusif.
"Tak mungkin mau nagih uang dari orang yang sedang mabuk. Kadang petugas maduke (mempertaruhkan, red) nyawa setiap berurusan dengan jukir. Yang dihadapi bukan cuma jukir tapi preman pemilik lapak. Kita cuma bisa pelan-pelan. Selain menjaga keselamatan, ya demi ketertiban juga," katanya.
Setor kepada Preman
Sulitnya Dishub memaksimalkan pendapatan uang parkir tentu saja dipengaruhi banyak faktor. Kurang maksimalnya pendapatan parkir sepertinya sudah menjadi masalah klasik.
Itu bisa dimaklumi, karena selain berhadapan dengan jukir nakal, Dishub juga harus "berperang" melawan para preman yang disebut-sebut "menguasai" area parkir.
Seorang juru parkir (jukir) yang ditemui Sriwijaya Post (Tribun Network) di Jalan Kapten Anwar Sastro, Andi (nama disamarkan, red), mengaku memeroleh puluhan ribu rupiah setiap harinya dari uang parkir. Setiap hari dia menyetor Rp5.000,00 kepada petugas Dishub.
"Tiap orang dan tempat berbeda-beda, ada teman saya di Jalan Kapten A Rivai yang nyetor Rp10 ribu dan ada juga yang sampai Rp50 ribu. Bahkan ada yang Rp1,1 juta per hari," katanya.
Andi mengakui, tak hanya menyetor kepada Dishub. Dia juga harus menyetor kepada seseorang bernama Budi yang mengaku pemilik lapak parkir di tempatnya Rp30 ribu per hari.
Dari tangan Budi saja, pemerintah kehilangan Rp30 ribu per hari atau Rp10,8 juta per tahun. Bahkan beberapa tempat dengan jumlah kunjungan kendaraan roda dua atau empat yang tinggi seorang jukir menyetor kepada pemilik lapak hingga Rp100 ribu per hari.
Harus Sesuai Perda
Juru parkir (jukir) terkadang menjadi sosok yang sangat dibutuhkan. Namun sebaliknya, bisa juga menjadi "musuh" yang harus "dimusnahkan". Meski labelnya sama, yakni jukir, nyatanya pekerjaan jenis ini tetap memiliki berbagai tipe berbeda.
Pertama, ada tipe jukir yang punya seragam dan tanda pengenal khusus serta bekerja dengan sistem perparkiran yang tertata rapi karena dibantu teknologi.
Jukir model ini biasa ditemui di dinas-dinas pemerintahan maupun tempat-tempat swasta yang dikelola menggunakan sistem tertentu. Mereka ini jujur menarik sesuai tarif di karcis.
Kedua, ada tipe jukir yang meski resmi, namun suka mencuri-curi kesempatan untuk mendapatkan keuntungan. Jika tidak ketahuan, dia berani menilep uang hasil parkir dengan tidak memberikan karcis kepada konsumen.
Ketiga, tipe premanisme. Ini tipe yang umumnya paling ditakuti, bukan hanya oleh pengguna jasa parkir, bahkan oleh pemilik lahan parkir sekalipun.
Jukir bertipe preman bisa mengklaim sebuah lahan yang berpotensi menghasilkan uang seperti halaman minimarket, meskipun sebenarnya si pemilik toko maunya menggratiskan parkir.
Mereka umumnya tidak memiliki izin resmi dan tidak mengenakan rompi khusus. Tipe preman masih dibagi lagi menjadi preman teroganisir yang memiliki basis kelompok besar yang menjadikan lahan parkir sebagai "jatah preman", serta tipe "preman kampung" yang hanya digdaya di kampungnya sendiri.
Keempat, tipe jukir musiman. Tipe ini biasanya hanya muncul saat ada keramaian seperti konser, pasar malam atau lainnya. Kalau perlu halaman rumah orang pun disulap jadi lahan parkir.
Ada pula tipe jukir yang kerjanya hanya duduk-duduk di dekat motor atau mobil yang parkir. Kalau ada yang kerepotan mengeluarkan motor, ia pura-pura tidak melihat.
Tipe ini biasanya baru beranjak sambil pegang-pegang karcis buluk dan mendekati si pengguna parkir yang sudah duduk manis di jok motor atau mobil. Tentu masih banyak tipe jukir yang kerap ditemukan di areal parkir.
Ada yang memang benar-benar menjalankan tugasnya sesuai aturan, tidak sedikit pula yang mengabaikannya. Menurut Kadishub Kota Palembang, Masripin, pihaknya sudah sering mendata dan merazia para jukir yang tidak memiliki surat izin resmi. Jika ditemukan, jukir yang tidak memiliki izin resmi akan ditindak dan dilarang untuk beroperasi kembali.
"Memang ada beberapa jukir yang diperuntukkan untuk mengganti jukir yang resmi. Ini karena, jukir resmi tidak bisa kerja seharian penuh dan butuh istirahat. Mereka menyerahkan parkir kepada teman yang sudah dipercayanya," katanya, Rabu (15/1/2014) lalu.
Dilanjutkan Masripin, mereka yang sering menggantikan tugas jukir resmi biasanya sudah diberitahu terlebih dahulu oleh jukir yang resmi. Pihak Dishub Palembang pun memiliki beberapa identitas jukir nonresmi yang sering kali menggantikan peran jukir
yang resmi.
Sebab itu, meski hanya mengantongi fotokopi surat parkir, belum bisa dikatakan orang tersebut jukir ilegal. Ini biasanya terdapat di kawasan parkir yang padat, seperti di mal atau kawasan pasar.
"Periksa terlebih dahulu apakah sama nama yang tertera di kopian itu dengan identitas jukir yang resmi. Jika tidak sama, dia jukir ilegal dan laporkan jika bertemu," kata Masripin.
Sejumlah pengguna kendaraan sering kali terlihat cekcok dengan jukir terkait persoalan biaya parkir. Sebagian mengaku bukan soal besaran nilai yang harus dibayar, melainkan lebih kepada cara dan waktu yang tidak tepat.
Bayu Hermawan, misalnya, warga Jl Ariodila IV mencoba mengenang beberapa kejadian yang dialaminya terkait parkir ini. Dalam beberapa kesempatan, dia pernah bermaksud membeli nasi (makan siang) di sebuah rumah makan di kawasan Jl Jenderal Sudirman, Km 3,5 Palembang.
Tiba di rumah makan tersebut, ternyata lauk yang diinginkan tidak tersedia dan dia pun bermaksud langsung pulang. Namun meski tidak jadi makan dan hanya sebentar meninggalkan kendaraan, Bayu tetap ditagih membayar parkir oleh jukir yang bertugas di sana.
"Ini juga pernah terjadi saat saya ke Alfamart di muara Jl Letnan Murod. Di sana juga saya kena biaya parkir, padahal cuma tanya sebentar ke kasirnya. Padahal waktu motor saya tinggal, itu tukang parkir gak jelas di mana," kata Bayu.
Bayu, bisa jadi satu di antara banyak orang yang memiliki pengalaman serupa. Praktik ini juga sering terlihat di lokasi-lokasi keramaian seperti tempat wisata atau pasar tradisional.
"Sekarang mana ada parkir Rp1.000,00. Hampir di semua tempat, Rp2.000,00. Saya pernah ke BKB, saat mau bayar Rp1000,00, jukirnya nagih Rp2.000,00. Padahal, saya parkir tidak sampai 15 menit," kata Doni, warga Kenten Laut.
Menanggapi hal itu, Masripin menegaskan, tarif parkir yang digunakan untuk retribusi tidak bisa dipatok sembarangan oleh jukir. Tarif juga bukan Dishub Palembang yang menentukan. Sudah ada tarif parkir khusus yang tertera pada pasal 9 Perda Kota Palembang No 16 tahun 2011.
Ketentuannya adalah untuk sepeda Rp500,00 sepeda motor Rp1.000,00 mobil penumpang dan sejenisnya (wagon, jeep, sedan, pick up) Rp2.000,00 bus kecil (truk engkel, dan sejenisnya) Rp3.000,00 dan bus sedang, bus besar, truk atau tangki, box, dan sejenisnya Rp5.000,00.
"Jika ada jukir yang meminta biaya parkir lebih besar dari isi Perda, masyarakat bisa melaporkannya kepada kami atau polisi. Itu sudah sama dengan pemalakan atau pungutan liar," kata Masripin.
Uang yang didapat dari retribusi parkir, lanjut Masripin, akan disetorkan kepada Pemkot Palembang sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dijelaskan, retribusi parkir yang dikelola Dishub Palembang tidak termasuk pajak.
Pajak dari parkir dikelola oleh Dispenda Palembang dan itu didapat dari halaman-halaman yang ada di fasilitas dan tempat umum.
"Yang termasuk retribusi parkir terdapat di tepi jalan dan halaman rumah. Untuk parkir yang ada di mal, rumah sakit, atau pun fasilitas umum lainnya, itu termasuk pajak dan dikelola oleh Dipenda Palembang," jelasnya. (Sriwijaya Post/asa/cw6/mg5)