JAKARTA, TRIBUN - Presiden terpilih Joko Widodo menegaskan menaikkan harga bahan bakar minyak bersubsidi merupakan jalan satu satunya untuk menekan defisit anggaran. Sebab selama ini, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono telah membiarkan beban subsidi BBM terlalu besar.
"Sudah bolak-balik saya sampaikan bahwa untuk menekan defisit anggaran tahun 2015, memang jalan satu-satunya di situ (menaikkan harga BBM). Kamu harus mengerti dong subsidi BBM itu gede banget Rp400 triliun, bahkan Rp433 triliun yang untuk tahun depan," ujar Jokowi usai bersilaturahmi dengan ratusan tokoh dan kiai Nahdatul Ulama di Pondok Pesantren Al Hikam, Depok, Jawa Barat, Sabtu (30/8/2014).
Namun, Jokowi mengaku masih mengalkulasikan berapa besaran kenaikan harga BBM yang ideal. Ia baru akan bicara mengenai kalkulasi setelah dilantik sebagai presiden pada 20 Oktober 2014 mendatang.
"Masih dikalkulasi. Yang jelas kami harus memulai mengalihkan, mengalihkan loh hati-hati. Mengalihkan subsidi dari yang dibakar dan kenikmatan tersebut dialihkan kepada usaha yang lebih produktif. Kalau saya sampaikan idealnya kan enggak etis, kewenangan saya nanti setelah dilantik," ujar Jokowi, yang masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Jokowi menambahkan, apabila harga BBM tidak dinaikkan, besarnya subsidi akan menghambat percepatan pembangunan karena alokasi anggaran yang tidak tepat serta mengganggu aliran kas negara. "Ya nanti cash flownya terganggu," ujar Jokowi.
Sebelumnya, saat bertemu dengan Jokowi, Rabu lalu di Bali, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan, tidak akan menaikkan harga BBM.
Pernyataan serupa dia tegaskan melalui wawancara yang diunggah melalui video steraming, Youtuber.
SBY merasa heran atas pihak-pihak yang tidak ingin ada subsidi. Ketua Umum Partai Demokrat ini bahkan menyebut kalangan tersebut neolib.
"Sebenarnya persoalan subsidi ini selalu dihadapi dari satu pemerintahan ke pemerintahan lainnya, bukan hanya pemerintahan ini. Memang, bagi negara yang anut sistem ekonomi yang sangat kapitalistik atau yang rakyat sebut neolib begitu, subsidi ini tidak disukai," kata SBY, Jumat (29/8/2014).
SBY berpendapat lain dengan kalangan yang ia sebut neolib tersebut. Ia menilai untuk Indonesia masih dibutuhkan subsidi.
"Untuk Indonesia, mengingat masih banyak yang miskin dan daya beli rendah, kalau subsidi itu betul-betul untuk menolong rakyat, jumlah tidak berlebihan dan tepat sasaran, saya kira tidak keliru. Ini yang kita jaga betul, subsidi yang pas," kata SBY.
Meski mengakui perlu adanya subsidi, SBY menilai ke depannya subsidi harus mulai dikurangi. Ia pun menyebut sudah beberapa kali mengurangi subsidi tersebut melalui langkah menaikkan harga BBM bersubsidi.
"Yang penting, pengurangan itu dilakukan beberapa tahap, sehingga di satu sisi APBN kita makin ideal. Di sisi lain tidak beri beban yang berlebihan ke rakyat kita. Yang jelas saya sadar subsidi perlu dikurangi, saya yakin di pemerintahan yang akan datang akan lakukan hal yang sama," ujar SBY.
Yudhoyono pun membantah kebijakannya tidak menaikkan harga BBM bersubsidi membebani pemerintahan mendatang.
Ia justru menyebut pada masa transisi dari pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri kepadanya, tahun 2004, dia tidak pernah protes karena diwarisi keharusan menaikkan harga BBM subsidi.
"Tidak baik menurut saya kalau menuduh sebuah pemerintahan membebani pemerintahan lain. Setiap pemimpin hadapi tiap tantangan.
Lagi-lagi contohlah tahun 2005 ketika saya naikkan harga BBM yang persentasenya itu tinggi. Saya tidak pernah katakan pemerintahan Bu Megawati bebani pemerintahan saya. Tidak," kata SBY.
SBY mengingatkan, setiap pemerintahan selalu mendapat tantangan dan risiko masing-masing. Pemerintahan mendatanglah yang harus menjawabnya.
Lebih jauh, ia menilai langkahnya melakukan pertemuan dengan presiden terpilih Joko Widodo di Bali beberapa waktu lalu adalah sejarah baru. Meski begitu, ia menolak mengikuti kemauan dari pemerintahan mendatang.
"Saya pun ingin membantu, tetapi kan tidak berarti semua harus mengikuti apa yang diinginkan pemerintahan yang akan datang. Kita harus hormati kebijakan masing-masing (pemimpin)," kata SBY.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Chairul Tanjung (CT) menegaskan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak akan menaikkan harga BBM bersubsidi dalam masa akhir jabatannya. Alasannya, beban rakyat sudah cukup berat.
Ia mengingatkan, pemerintahan Presiden SBY sudah menaikkan harga BBM pada 2013 lalu.
Sementara tahun ini, pemerintah juga telah menaikkan tarif dasar listrik, dan sebentar lagi Pertamina dengan persetujuan DPR juga akan menaikkan harga elpiji 12 kilogram.
Ketua DPP Partai Demokrat Ikhsan Modjo membela presiden SBY. "Pak SBY mempertimbangkan masih ada opsi-opsi lainnya," kata Ikhsan Modjo dalam diskusi berjudul Bola Panas BBM, Sabtu.
Menurut Ikhsan, dalam pertemuan di Bali, Yudhoyono mempertimbangkan sudah adanya sejumlah kenaikan harga di sektor energi yang sudah memberatkan masyarakat.
"Sudah ada kenaikan TDL, bahkan ada rencana kenaikan LPG 12 kilogram yang memberikan tekanan dan beban kepada masyarakat," ujarnya.
Lagipula, kondisi harga minyak dunia cenderung mengalami penurunan. Artinya, opsi untuk menaikkan harga BBM subsidi masih dirasa sulit. Hingga saat ini, harga minyak dunia masih di bawah 100 dolar AS per barel.
Penolakan Yudhoyono untuk menaikkan harga BBM sudah disampaikan Jokowi. Penolakan tersebut muncul di tengah kelangkaan pasokan BBM bersubsidi di sejumlah daerah.
Pertamina terpaksa mengurangi pasokan karena pemerintah memangkas kuota BBM dari 48 juta kiloliter menjadi 46 juta kiloliter dalam APBN Perubahan 2014. Pemotongan kuota ini bertujuan menekan anggaran subsidi agar tak melonjak dari Rp246,5 triliun.
Pemerintahan Yudhoyono pernah menaikkan harga Premium sebesar Rp2.000,00 menjadi Rp6.500,00 per liter dan harga solar naik Rp1.000,00 menjadi Rp5.500,00 per liter pada 22 Juni lalu.
Sejak awal Juli, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menaikkan tarif listrik rata-rata 5-11 persen untuk rumah tangga golongan menengah ke atas dengan daya minimal 1.300 watt. Adapun tarif listrik untuk rumah tangga tak mampu, yaitu pelanggan 450 watt, tidak naik.
Naikkan Sendiri
Presiden terpilih Joko Widodo mengaku menyampaikan beberapa hal kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pertemuan pada Rabu malam, 27 Agustus 2014, di Nusa Dua, Bali. Salah satunya soal kenaikan harga bahan bakar minyak.
Gubernur DKI Jakarta itu meminta Presiden SBY untuk menekan defisit dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2015 yang diasumsikan sebesar 2,3 persen. Bahkan ia ingin defisit ditekan sekecil-kecilnya.
"Saya maunya sekecil-kecilnya. Teknisnya tanya ke tim transisi," kata Jokowi.
Cara terbaik untuk menekan defisit, kata Jokowi, adalah menaikkan harga bahan bakar minyak. Namun, SBY, kata Jokowi, menolak permintaannya.
"Beliau menyampaikan, saat ini kondisinya dianggap masih kurang tepat untuk menaikkan (harga) BBM," ujar Jokowi di Balai Kota, Kamis, 28 Agustus 2014. "Kenapa beliau menolak, tanya beliau," katanya.
Karena ditolak, Jokowi mengaku bakal menaikkan harga bahan bakar minyak di era pemerintahannya. "Saya siap untuk tidak populer," ujarnya.
Jokowi akan mengurangi subsidi BBM. Subsidi, kata Jokowi, akan dialihkan ke usaha yang produktif. Benih untuk petani, pestisida, dan solar untuk nelayan adalah beberapa kebutuhan yang akan mendapat subsidi.
"Saya kira harus mulai berubah. Jangan sampai konsumtif menggunakan BBM, untuk membeli mobil. Untuk mobil-mobil kita harus mulai mengubah dari sebuah konsumsi menjadi produksi. Itu saja."
Dalam RAPBN 2015, anggaran untuk belanja subsidi BBM sebesar Rp291,1 triliun. Angka itu lebih besar daripada alokasi dalam APBN Perubahan 2014 yakni Rp246,5 triliun. (Tribunnews/m1/faj/kompas.com)